KISAH MASA PENDEWASAAN
Baru saja saya pulang dari mengantarkan makanan dan takjil berbuka untuk adik kandung saya di sekolahnya, sekolah yang juga pernah saya “singgahi” selama 3 tahun semasa SMP. Tapi disini letak masalah yang menggerakkan emosi saya –atau lebih tepatnya dorongan jiwa saya. Perjalanan kisah sekolah saya di SMP itu panjang, berliku, berwarna,pahit asin asam dan sedikit kebahagiaan manis. Masalahnya panjang –dan tidak mungkin saya ceritakan di sini, mungkin di lain kesempatan akan coba saya ulas- namun masalah itu masih membekas di benak saya.
KALAH JADI ABU MENANG JADI ARANG
Adalah manusiawi jika saya memiliki rasa malu dan bersalah setiap kali harus kembali ke sekolah itu, tapi adalah manusiawi juga ketika saya memiliki rasa ego dan tetap merasa benar terhadap tindakan yang telah saya lakukan. Bukan waktunya bagi saya menentukan siapa yang benar dan salah,tapi begini, masalah saya dengan sekolah saya berakhir bagaikan peribahasa, “kalah jadi abu, menang jadi arang” . tidak ada yang menang dan kalah. Saya seolah olah menjadi martir bagi diri saya sendiri, dan bukan martir saat keadaan berperang –sebagaimana istilah martir seharusnya digunakan.
Hantu masalah itu terus terkenang di benak saya, ada rasa kebencian ketika saya melihat guru dan jajaran staff-nya. Seolah olah masalah itu telah menodai kedua belah pihak, saya dan guru-guru pengajar. Saya memang tidak sepenuhnya salah, dan mereka juga tidak spenuhnya benar. Namun apa dikata, nasi telah menjadi bubur, saling tidak bertegur sapa dan merasa benar bukan langkah yang bijak. Mungkin adalah langkah terbaik untuk mengalah dan berdamai dengan mereka.
“...Karena mengalah terhadap orang yang lebih dewasa menjadikan anda lebih dewasa secara batin dari mereka....”
arghya narendra
Baru saja saya pulang dari mengantarkan makanan dan takjil berbuka untuk adik kandung saya di sekolahnya, sekolah yang juga pernah saya “singgahi” selama 3 tahun semasa SMP. Tapi disini letak masalah yang menggerakkan emosi saya –atau lebih tepatnya dorongan jiwa saya. Perjalanan kisah sekolah saya di SMP itu panjang, berliku, berwarna,pahit asin asam dan sedikit kebahagiaan manis. Masalahnya panjang –dan tidak mungkin saya ceritakan di sini, mungkin di lain kesempatan akan coba saya ulas- namun masalah itu masih membekas di benak saya.
KALAH JADI ABU MENANG JADI ARANG
Adalah manusiawi jika saya memiliki rasa malu dan bersalah setiap kali harus kembali ke sekolah itu, tapi adalah manusiawi juga ketika saya memiliki rasa ego dan tetap merasa benar terhadap tindakan yang telah saya lakukan. Bukan waktunya bagi saya menentukan siapa yang benar dan salah,tapi begini, masalah saya dengan sekolah saya berakhir bagaikan peribahasa, “kalah jadi abu, menang jadi arang” . tidak ada yang menang dan kalah. Saya seolah olah menjadi martir bagi diri saya sendiri, dan bukan martir saat keadaan berperang –sebagaimana istilah martir seharusnya digunakan.
Hantu masalah itu terus terkenang di benak saya, ada rasa kebencian ketika saya melihat guru dan jajaran staff-nya. Seolah olah masalah itu telah menodai kedua belah pihak, saya dan guru-guru pengajar. Saya memang tidak sepenuhnya salah, dan mereka juga tidak spenuhnya benar. Namun apa dikata, nasi telah menjadi bubur, saling tidak bertegur sapa dan merasa benar bukan langkah yang bijak. Mungkin adalah langkah terbaik untuk mengalah dan berdamai dengan mereka.
“...Karena mengalah terhadap orang yang lebih dewasa menjadikan anda lebih dewasa secara batin dari mereka....”
arghya narendra
Jadi dewasa tetap Selow Sob, iya nggak, cho?
BalasHapus;)
iyaa pokonyaaa keep calm alias selooow hahaha :D
BalasHapus